TUGAS
MAKALAH
Jual Beli, Pinjam-meminjam, dan Sewa-menyewa
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen : Hari Yuniardi, M.Ag
Di Susun Oleh
KELOMPOK- II
Ida Hamida
Leni Syarifathu Saniah
Iis Fatimah
Neng Dedeh Komilah
Ayi Noerdin
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
BAITUL
ARQOM AL-ISLAMI
BANDUNG 2014-2015
Lemburawi
Km.09 Ciparay Tlp/Fax. (022)85962223-081320326930
Website : www.stai-baitularqom.com Email : admin@stai-baitularqom.com
Jual Beli, Pinjam-meminjam, dan Sewa-menyewa
Ayi Noerdin
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang mana atas rahmat dan
karunia_Nya sehingga selesailah makalah ini. Di dalam makalah ini penulis membahas
tentang “Jual Beli, Pinjam Meminjam dan Sewa Menyewa”
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing dan juga teman-teman sekalian.Adapun makalah ini penulis buat
berdasarkan informasi yang ada.
Makalah ini
sudah barang tentu jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat penulis harapkan
untuk perbaikan makalah ini. Tidak luput kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah ini.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua..
Penyusun, September 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak
dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli,
pinjam meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun usaha- usaha
yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.Namun sering kali dalam kehidupan
sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini,
seperti riba yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat.Untuk menjawab segala problema
tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan
hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar
hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh karena itu,
dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli, pinjam meminjam dan
sewa menyewa karena ketiganya sangat kental dengan kehidupan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
· Apakah pengertian jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa menurut islam
· Apa hukum dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
· Apa saja syarat-syarat dan rukun dalam jaual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
· Apa hikmah yang dapat kita ambil dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
C. Tujuan
· Untuk mengetahui pengertian dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
· Untuk mengetahui hukum dari jual beli,pinjam meminjam,dan sewa menyewa
· Untuk menjelaskan syarat dan rukun dalam jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
· Untuk mengambil hikmah dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
BAB II
PEMBAHASAN
A. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa disebut البيع, secara
bahasa berarti اعطاءشيءفىمقابلةشيء (memberikan sesuatu untuk ditukar dengan
sesuatu).
Adapun menurut istilah syara’ adalah:
مقابلة مال بما ل قابلين للتصرف بايجاب وقبول على الوجه
المأذ ون فيه
“Menukar suatu barang dengan barang
(alat tukar yang syah) dengan ijab qabul dan berdasarkan suka sama suka.”
Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa jual beli
harus dilakukan berdasarkan suka sama suka.
…لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة ان
تكون تجارة ان تراض منكم…
Artinya: “…Janganlah kamu makan harta yang ada di
antara kamu dengan jalan batal, melainkan dengan jalan jual beli suka sama
suka….”(QS. An Nisa’: 29)
2. Hukum Jual Beli
Jual beli hukum asalnya jâiz atau mubah/boleh
(halal) berdasarkan dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’ para ulama.
…لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة ان
تكون تجارة ان تراض منكم…
Artinya: “….janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu….. “ (QS. An Nisa’29)
3. Syarat Jual Beli
A. Penjual dan Pembeli
- Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
2.
Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
- Tidak mubazir (pemboros)
B. Uang
dan Benda yang di beli
- Suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
- Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.
- Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
- Barang itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli. Zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara penjual dan pembeli keduanya tidak saling kecoh-mengecoh.
4.Rukun Jual Beli
1. akad (ijab Kabul),
2. orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli),
3. ma’kud alaib
(objek akad).
5. Jual Beli Yang Dilarang
a. Terlarang karena kurang syarat atau rukun
- Jual beli system ijon (belum jelas barangnya)
Jual beli ini dilarang karena barang yang akan dibeli
masih samar.
عن بيع الثما رحتى يبد وصلا حيامتفق عليهعن ابن مر نهى
النبى ص م
“dari Ibnu Umar ra. Nabi saw
melarang jual beli buah-buahansehingga nyata baiknya buah itu”.(Muttafaq
‘alaih)
- Jual beli anak binatang ternak yang masih di
dalam kandungan
Jual beli ini dilarang karena barangnya belum ada dan
tidak tampak juga.
- Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan, seperti mengawinkan seekor
domba jantan dengan betina, agar dapat memperoleh turunan.
رواه مسلمعن بيع فضل الماءنهى رسول الله ص معن جابربن
عبدالله قا ل
“Rasulullah saw telah melarang jual
beli air jantan binatang.”(HR. Muslim).
- Jual
beli barang yang belum dimiliki
رواه احموالبيهقىم:قال رسول الله ص د لا تبيعن شيأ
استريته حتى تقبضه
Artinya: “Nabi saw telah bersabda janganlah engkau
menjual sesuatu yang baru saja engkau beli sehingga engkau menerima
(memegangbarang itu)”. (HR. Ahmad Baihaqi).
b. Jual beli
yang sah tetapi terlarang
- Jual
beli pada waktu khutbah/sholat Jum’at bagi laki-laki.
- Jual
beli dengan niat untuk ditimbun saat masyarakat membutuhkan
قال رسول الله ص م لا يختكر الا خا طىءمسلم
“Rasulullah saw telah
bersabda tidaklah seseorang menimbun barang kecuali orang yang durhaka”. (HR.
Muslim).
-
Jual beli yang tidak
mengetahui harga pasar
-
Jual beli yang masih dalam
tawaran orang lain
-
Jual beli untuk kemaksiatan
6. Hikmah Jual Beli
Allah mensyari’atkan jual beli sebagai penberian
keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang membawa
hikmah bagi manusia diantaranya:
- Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
- Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
- Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara bathil.
- Penjual dan pembeli sama-sama mendapat rizki Allah
- Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan
B. Pinjam Meminjam
1. Pengertian
Ariyyah atau ariyah nama barang
pinjaman dan nama suatu aqad yang berupa memberikan wewenang untuk mengambil
manfaat sesuatu yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan masih tetap/utuh
barangnya untuk dikembalikan lagi.
Kata عارية BERASAL DARI عار
Yang artinya “pergi dan datang kembali dengan cepat”.
Ariyah pada asal hukumnya adalah SUNNAH, karena sangat dirasa keperluannya.Dan
terkadang hukumnya bisa menjadi wajib, seperti misalnya meminjamkan pakaian
yang disitulah syahnya sholat , meminjamkan sesuatu penyelamat orang tenggelam,
atau meminjamkan alat menyembelih binatang dimuliakan syara’ yang dikhawatirkan
( segera ) mati.
Barang pinjaman kalau hilang atau
rusak, menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.
Pinjam ini wajib dikembalikan kepada
yang meminjamkan, sabda Nabi Saw:
عن ابى هريره
رضى الله عنه قا ل : قا ل ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا د الا ما نة الا من
ائتمنك , ولا تخن من خا نك.
( رواه
الترمزي و ابو داود )
Artinya : Dari Abu Hurairah R.A :
Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Tunaikanlah / Kembalikanlah barang amanat
itu kepada orang yang telah memberikan amanat kepadamu, dan janganlah kamu
menyalahi janji (berkhianat) walaupun kepada orang yang pernah menyalahi janji
kepadamu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam
a.
Rukun
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan
barang. Sedangkan qabul bukan merupakan rukun Ariyah. Menurut Ulama Syafi’iyah,
dalam Ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan
qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang yang bergantung pada adanya izin.
Secara Umum jumhur Ulama fiqh
menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
-
Mu’ir (peminjam)
-
Musta’ir (yang meminjamkan)
-
Mu’ar (barang yang dipinjam)
-
Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan
untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
b.
Syarat
-
Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah
baliqh, berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
-
Manfaat barang yang dipinjamkan harus merupakan milik
orang yang meminjamkan. Oleh karena itu orang yang meminjamkan sesuatu barang
tidak boleh meminjamkan barang itu kepada orang lain.
-
Orang yang meminjam suatu barang, hanya dibolehkan
mengambil manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang yang meminjamkan.
-
Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhkkan
ongkos, maka ongkosnya atas tanggungan peminjam.
-
Pinjaman yang dibatasi waktunya, setelah habis
waktunya, si peminjam wajib segera mengembalikannya. Pengambilan manfaat
setelah lewat batas waktu yang ditentukan, adalah diluar ikatan pinjam meminjam.
Hilang atau rusaknya barang yang dipinjamkan penuh atas tanggungan yang
meminjamkan.
-
Dan dalam hal Ulama fiqh
mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a. Mu’ir
berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak
kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkan sudah baligh. Sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang
berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya,
tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang
pailit (bangkrut).
b. Pemegangan
barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam
berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti
halnya dalam hibah.
c. Barang
(musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya jika musta’ar tidak dapat
dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para Ulama telah menetapkan bahwa
ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan
tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan
lain-lain.
a) Meminjamkan
sesuatu hukumnya sunnat, malah terkadang menjadi wajib, seperti meminjamkan
sampan untuk menyelamatkan orang yang akan hanyut tenggelam, dan kadang-kadang
haram meminjamkan, seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat dan
sebagainya.
b) Orang yang
meminjamkan sewaktu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan.
c) Sesudah yang
meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan aqadnya, dia tidak
boleh memakai barang yang dipinjamkannya.
d) Pinjam-meminjam
tidak berlaku (batal) dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam
atau yang meminjamkan.
Menurut kebiasaan (urf), Ariyyah dapat diartikan
dengan dua cara, yaitu secara hakikat
dan secara majaz.
a)
Secara hakikat
Ariyyah adalah meminjamkan
barangyang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zat nya. Menurut Malikiyah
dan Hanafitah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti
apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut
kebiasaan.
Al-Khurkhi, ulama Syafi’iyah, dan
Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pendapat di atas,
dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (Musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang
lain, menurut Imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan
digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikyah melarangnya jika
peminjam tidak mengizinkannya.
b)
Secara Majazi
Ariyyah secara majazi adalah
pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan,
dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil
manfaatny, tanpa merusak zatnya. Ariyyah pada benda-benda tersebut harus
diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun
termasuk ariyyah, tetapi merupakan ariyyah secara majazi, sebab tidak mungkin
dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki
kemanfaatan dan kebolehan intuk memanfaatkannya.
D. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiah
berpendapat bahwa musta’ar dapat
mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir
(orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiah berpendapat
bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar
bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a.
Ariyaah mutlak
Ariyyah mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang
dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah
pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak
dijelaskan cara penggunaannya. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai
kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.
b. Ariyyah muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan
suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfatannya, baik disyaratkan
pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin
untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati
batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil
manfaat barang tersebut. Dengan demikian, dibolehkan melanggar batasan tersebut
apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
E.
Sifat ariyyah
Ulama Hanafiah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak
tidak lazim, sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada
hibah, misalnya bisa saja mu’ir (orang
yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana
peminjam dapat mengembalikannya kapan saja, baik pinjam-peminjam itu bersifat
mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan
menimbulkan kemadaratan saat pengembalian barang tersebut seperti kalau
dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti
orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir
tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan sipeminjam pun tidak boleh
mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.
Alasan mereka aantara lain bahwa
ariyyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagai mana sabda nabi.
“pemberian
itu ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan” (HR.
Ibnu ‘Addy)
Menurut pendapat yang paling masyhur
dari ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya
sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya.
F.
Ihwal Ariyyah, Apakah Tanggungan atau Amanat
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak.
Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan,
seperti juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali bila kerusakan
tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian. Hal ini karena tanggungan tidak
dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu, peminjam pun
dikategorikan sebagai orang yang menjaga milik orang, hal itu termasuk kebaikan
bagi pemilik.
G. Hikmah
Hikmahnya dapat mencukupi keperluan
seseorang terhadap manfaat sesuatu barang yang tidak ia miliki.
C. Sewa Menyewa( Ijarah)
1. Pengertian
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan
manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan
lain-lain. Demikian
pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah:
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan
pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة
قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة
بعوض.
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang
boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka
melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya,
sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya,
tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar
Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk
memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang
seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.
2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah.
Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.
Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah
jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada
tidak dapat dikategorikan jual beli.
Landasan ijarah menurut jumhur
ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Artinya:
Jika mereka menyusukan
(anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b. As-Sunnah
Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibn
Majah dari Ibn Umar)
c. Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan
sebab bermanfaat bagi manusia.
3. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah
itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan
terhadap sewa-menyewa), antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah,
al-isti’jar, al-ikhtira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun ijarah ada empat (4), yaitu:
1.
‘Aqid (orang yang berakad)
2.
Shighat akad
3.
Ujrah (upah)
4.
Manfaat
a.
Manfaat yang berharga
b.
Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
c.
Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau
satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta
sampai ke Bogor.
Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat
ijarah, bukan rukunnya.
4. Syarat-Syarat Ijarah
a.
Al-Muta’aqidain (kedua orang yang berakad).
§
Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal.
§
Menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh, anak yang telah
mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap sah apabila disetujui
oleh walinya.
b.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
c.
Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga
tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
d. Obyek ijarah
boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e. Obyek
ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f. Yang
disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g. Objek ijarah itu
merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan
tunggangan.
h. Upah/sewa dalam akad
ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i. Ulama Hanafiyah
mengatakan sewa/upah itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
5. Sifat Ijarah
Para ulama fiqh berbeda
pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau
tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi
boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak
yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang
meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena
termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalakn akad ijarah.
6. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah
termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar
lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut
terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak
memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa ijarah fasid
sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau
ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
7. Macam-Macam Ijarah
a.
Ijarah yang
bersifat manfaat, umpamanya
adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila
manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka
para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi
penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.
Ijarah yang
bersifat pekerjaan (jasa) ialah
dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut
para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain. Ijarah ini
ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan
ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang
menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang
jahit dan lain-lain. Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya
boleh.
8. Perbedaan Diantara Yang Akad
Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan
akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan
padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah
jasa diberikan.
Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus
bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا.
(رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika terjadi perbedaan di antar orang yang
berjual beli, keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam Syafi’I)
Hadist tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan
ijarah. Dengan demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.
9. Berakhirnya Akad ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
Ø Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
Ø Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah,
menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak
batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka,
boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah
pihak yang berakad.
Ø Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
Ø Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad
iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah
salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya,
seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai,
penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur
yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung
cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan
dilanda banjir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
- jual beli menurut istilah adalah tukar menukar sesuatu barang dengan barang lain atas dasar suka sama suka dengan syarat dan rukun tertentu.Hukum jual beli adalah jaiz/mubah (dibolehkan)
·
Pinjam meminjam ialah membolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaat nya dengan tidak merusak
zat-Nya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zat-Nya. pinjam meminjam itu pada hakikatnya boleh-boleh saja, asalkan
tidak pinjam meminjam dalam berbuat kemaksiatan dan dosa.Barang pinjaman kalau
hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada
hari rusaknya.
- Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
- Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
Daftar Pustaka
·
DR. Rachmat
Syafe’I, MA. Fiqih Muamalah. Bandung 2000. Hal: 13-16
·
Drs.H.Hendi
Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah. Jakarta 2002. hal: 9-12
·
Drs. Ghufron
A.Mas’adi,M.Ag. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta 2002. hal: 20-32
·
Drs.Hendi Suhendi,M.Si.
Fiqh Muamalah. Jakarta 2002.hal: 34-35
·
Drs.Ghufron
A.Mas’adi,M.Ag.Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta 2002. hal: 53-66
·
Drs.Ghufroh
A.Mas’adi,M.Ag.Fiqih Muamalah Kontekstual.Jakarta 2002. hal: 75-108
·
Prof.DR.Shalih
Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam.
Surabaya 2007. hal: 145-161
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun profit,bergabung sekarang juga dengan kami
BalasHapustrading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut